Wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir telah dikenal
sebagai bagian Sumatera Selatan sejak sebelum masa
kemerdekaan.
Pada masa kesultanan, daerah ini menjadi salah satu
kawasan yang penting.
Belum diketahui secara tepat bagaimana pola hubungan
yang lebih pasti antara keseluruhan daerah-daerah di
Ogan Komering Ilir
dengan pihak kesultanan.
Demikian pula bila kita menyimak
kronik lokal yang diceritakan penduduk di pedesaan.
Masyarakat desa Saranglang,
misalnya meyakini bahwa puyangnya salah seorang pejabat
dari keraton Palembang.
Pada masa Belanda, koloni ini menjadikan Sumatera
Selatan sebagai satu wilayah
keresidenan yang dipimpin oleh seorang Residen.
Menjelang akhir penjajahannya, keresidenan dibagi
menjadi afdeeling masing-masing
dikepalai oleh seorang Asisten Residen,
dengan perincian :
•Daerah Palembang dan tanah datar dengan ibukota di Palembang,
meliputi Palembang kota, talang Betutu,
Komering Ilir, Ogan Ilir, Musi Ilir dan Rawas.
•Daerah Pegunungan di Palembang, dengan ibukota di Lahat.
Daerah ini meliputi Lematang Ilir,
Lematang Ulu, Tanah Pasemah, Tebing Tinggi, dan Musi Ulu.
•Daerah Ogan dan Komering Ulu, dengan ibukota di Baturaja.
Daerah ini meliputi daerah Komering Ulu, Ogan Ulu, dan Mura Dua.
Ketiga afdeeling diatas masing-masing terbagi lagi kepada
onder –afdeling. Pada waktu itu,
kawasan sekarang yang dikenal sebagai Ogan Komering Ilir
merupakan dua onder-afdeeling,
yaitu onder-afdeeling Ogan Ilir dengan ibukota Tanjung Raja
dan onder afdeeling Komering Ilir
dengan ibukota Kayuagung. Pembagian ini terus berlangsung
sampai masuknya Pemerintahan militer
Jepang mengganti kolonial Belanda. Jepang menggunakan
istilah Syu untuk diterapkan pada keresidenan.
Sejauh berkenaan dengan wilayah Ogan dan Komering Ilir,
belum diperoleh keterangan yang pasti tentang
perubahan-perubahan khusus yang dilakukan oleh Pemerintah militer Jepang terhadap
lembaga yang dahulu telah terbentuk pada masa kolonial Belanda. Namun begitu,
dengan mengidentifikasi perubahan umum yang diterapkan di Sumatera Selatan, tepatnya bekas
Karesidenan Palembang dapat diperoleh sedikit gambaran. Pada masa Jepang, kawasan Palembang dibagi
menjadi dua karasidenan (Syu) yaitu Karasidenan Palembang dan Karesidenan Bangka-Belitung.
Memasuki kemerdekaan, wilayah Ogan dan Komering Ilir memasuki pula masa revolusi fisik.
Beberapa tempat di daerah ini menjadi basis-basis tempat pertahanan para republikein menghadapi
pihak sekutu Inggris dan pada akhirnya berhadapan langsung dengan Belanda yang bermaksud kembali
menanamkan kekuasaannya. Dikawasan Ogan Komering Ilir dibentuk front-front seperti Front Batun dan
Front Muara Kamal-Talang Pangeran. Dalam masa perjuangan fisik itu, kawasan ini termasuk pula dalam
wilayah perjuangan Ogan komering Area.
Masa Orde Baru, membawa perubahan cukup besar di daerah Ogan komering Ilir.
Perubahan yang sangat
fundamental dalam segi kehidupan masyarakat luas di daerah pedesaan ialah
peristiwa pembubaran lembaga marga.
Seterusnya, sampai masa sekarang masyarakat pedesaan di Ogan komering Ilir
menemui berbagai pengalaman yang silih berganti.
Masing-masing pengalaman historis itu membawa goresan tersendiri dalam ingatan
kolektif , dampak pada struktur sosial politik,
dan memberikan corak pada wujud kebudayaan masyarakat setempat.
OKI dan Perang 5 Hari 5 Malam
Pertempuran Kemerdekaan 5 hari 5 malam di Palembang terjadi pada tanggal
1 sampai 5 Januari 1947 (Rabu-Ahad, 8-12 Shafar 1366)
mendapat bantuan kekuatan rakyat pedalaman, terutama daerah-daerah yang dekat
dengan Palembang seperti Pemulutan, Inderalaya,
Tanjung Raja, Jejawi, Sirah Pulau Padang, Kayuagung, daerah-daerah lainnya.
Pasca perang 5 hari 5 malam , dalam masa case fire (gencatan senjata) masing-masing
pihak mempersiapkan kekuatan dan strategi pertahanan.
Di wiiayah Ogan Komering Ilir dan sekitarnya pimpinan militer Republik telah
membentuk brigade pertempuran yang dimaksudkan
dapat langsung terlibat dalam pertempuran apabila terjadi serangan dari pihak Belanda.
Brigade pertempuran Garuda Merah
di tempatkan melingkari garis demakrasi radius 20 Kilometer dari kota Palembang,
pada titik rawan yang diperkirakan akan diterobos
pihak Belanda.
Dalam peta pertahanan Ogan Komering Ilir, ada dua klasifikasi
daerah yang dianggap titik rawan pada waktu itu.
Dilalui dengan kendaraan air adalah sungai Komering dan Sungai Ogan. Sedan
gkan apabila ditempuh dengan jalan darat,
yaitu jalur Palembang-Sirah Pulau Padang-Kayuagung, Palembang-Simpang
Payakabung-Kayuagung. Pengamanan keseluruhan ini
dilakukan dengan membentuk tiga front, yaitu front tengah, front kanan,
dan front kiri.
Pada tanggal 21 Juli 1947 seluruh pertahanan Republik di front yang melingkari
garis demarkasi 20 Kilometer dari
Kota Palembang berhasil diterbos oleh Belanda. Keesokan harinya tanggal
22 Juli 1947 Belanda sudah dapat menduduki
Tanjung Raja dan Kayuagung.
Ogan Komering Area
Setelah semua front diduduki Belanda, taktik front di tinggalkan, dan tentara
RI menggunakan cara geriliya dengan target
adalah setiap kedudukan Belanda di seluruh daerah pendudukannya . Dalam konteks
ini dibentuk dislokasi berdasarkan Ogan
Komering Area dimana sebagai komandan Ogan Area adalah Kapten Riacudu, sedangkan
Komering Area adalah Kapten Alamsjah.
Markas Ogan Komering Area bersifat mobil, berkedudukan di Campang Tiga. Untuk
koordinasi perlawanan rakyat, diangkat
wedana perang yang masing-masing dijabat oleh Wedana M. Saleh untuk daerah Komering,
Wedana M. Arif untuk daerah Ogan,
dengan tugas pokok pengawasan terhadap gerakan tentara Belanda, mengatur bantuan
logistik sehingga gerakan kesatuan geriliya
dapat berjalan secara aktif.
Selama kurang lebih 3 tahun pertempuran melawan tentara Belanda, terjadi
perjuangan yang tak henti-hentinya melibatkan
berbagai lapisan rakyat sipil dan militer dengan pengorbanannya masing-masing.
Dikalangan militer, tokoh-tokoh yang
terlibat dalam perjuangan didaerah Ogan Komering Ilir adalah Kapten Alamsyah
Ratu Perwira Negara, Kapten Sanaf, Kapten Riacudu,
Lettu Asnawi Mangkualam, Lettu Marzuki Jahri, Letda KR Murod, Pelda M. Syueb,
Pelda Madri, Letda Nuh Matjan,
Letda Asmuni AS, Pelda Alifiah, Pelda M. Ali Hanafiah, Letda Paisol Syt,
Letda Matjik AR, Letda Najamudin, Ishak Ibrahim dll.
Diplomasi dan Masyarakat Sipil
Didaerah Ogan Komering Ilir, selama perang geriliya berlangsung,
dukungan masyarakat sipil ini berkembang sesuai dengan kondisi setempat.
Didaerah ini, masyarakat pedesaan memberikan dukungan yang sangat berarti
bagi tentara yang bergeriliya. Mereka memberikan bantuan berupa material
seperti ternak, buah-buahan, bahan makanan, perhiasan dan uang. Mereka
|
0 komentar:
Posting Komentar